Tuesday, November 11, 2025
No menu items!
spot_img
HomeFiqhTanda Tanda Haji Mabrur

Tanda Tanda Haji Mabrur

Para ulama menyebutkan beberapa tanda bahwa seseorang meraih haji mabrur, diantaranya:

Pertama: ikhlas karena Allah ﷻ
Tanpa keikhlasan, suatu amalan tidak akan diterima di sisi Allah ﷻ . Allah ﷻ berfirman:

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah ﷻ dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
(QS. Al Bayyinah: 5)

Rasulullah ﷺ bersabda: Allah ﷻ berfirman:

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Aku tidak butuh kepada para sekutu dalam menyekutukan Aku, barangsiapa yang melakukan amalan yang dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku padanya, Aku tinggalkan dia dengan perbuatan kesyirikannya.”
(HR.Muslim (2985), dari Abu Hurairah رَضِيَ اللهُ عَنْهُ )

Ketika Rasulullah ﷺ berhaji, Beliau mengatakan:

اللَّهُمَّ حَجَّةٌ لَا رِيَاءَ فِيهَا وَلَا سُمْعَةَ

“Ya Allah, ini adalah haji yang tidak terdapat riya’ dan sum’ah padanya.”
(HR.Ibnu Majah, no: 2890, dari Anas Bin Malik رَضِيَ اللهُ عَنْهُ )
Riya’ adalah beramal untuk diperlihatkan kepada orang lain, agar ia menuai pujian, sedangkan sum’ah adalah menceritakan kebaikannya kepada orang lain agar menuai pujian dan sanjungan.

Kedua: berhaji sesuai sunnah Nabi ﷺ
Berhaji sesuai sunnah Nabi ﷺ merupakan syarat meraih haji mabrur, sebab satu amalan ibadah yang tidak sesuai dengan bimbingan dan tuntunannya, merupakan amalan yang tertolak dan tidak diterima. Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak berdasarkan ketetapan dari kami, maka ia tertolak.”
(HR.Muslim, no:1718, dari Aisyah رَضِيَ اللهُ عَنْهَا )

oleh karenanya, Rasulullah ﷺ memerintahkan umatnya agar dalam menunaikan manasik haji dan umrah, hendaklah mencontoh apa yang telah diamalkan dan diajarkan oleh beliau ﷺ . Dalam sabdanya:

لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ

“Ambillah cara manasik kalian (dariku).”
(HR.Muslim, no:1297, dari Jabir Bin Abdillah رَضِيَ اللهُ عَنْهُما)

Ketiga: berhaji dengan harta yang halal

Berhaji dan umrah dari penghasilan yang haram, merupakan sebab amalan yang dilakukan seorang hamba kehilangan berkah, dan hilangnya keutamaan untuk bisa meraih haji mabrur. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا

“Sesungguhnya Allah ﷻ Maha Baik, Dia tidak menerima kecuali yang baik (halal).”
(HR.Muslim ,no:1015, dari Abu Hurairah رَضِيَ اللهُ عَنْهُ )

Para ulama berkata: “Barangsiapa yang berhaji dengan harta yang haram, maka hajinya tidak menjadi mabrur. Bahkan sebagian ulama ada yang berkata: hajinya pun tidak sah.”
(Awshaaf Al Hajj Al Mabrur, Sulaiman Abal Khail, hal: 10)

Keempat: menyempurnakan amalan haji

Berupaya semaksimal mungkin untuk menjalankan segala hal yang berkaitan dengan syarat-syarat haji, rukun-rukunnya, kewajibannya, dan juga hal-hal yang disunnahkan pada setiap kondisi selama menunaikan ibadah haji dan umrah. Seperti melakukan wukuf di Arafah hingga matahari terbenam, menginap di Muzdalifah hingga mengerjakan shalat subuh, mabit di Mina pada hari-hari Tasyrik , dan yang lainnya. Demikian pula melakukan hal-hal yang baik selama perjalanan, seperti menebarkan salam, bersedekah, bertutur kata yang baik, dan yang lainnya.
Dalam hadits Jabir Bin Abdullah, Rasulullah ﷺ ditanya: apakah haji mabrur itu?
Beliau menjawab:

إِطْعَامُ الطَّعَامِ، وَطِيبُ الْكَلَامِ

“Memberi makan, dan baik dalam ucapan.”
(HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak : 1/ 483. Lihat Silsilah As Shahihah, karya Al Albani, no: 1264)

Dalam riwayat lain dengan lafaz:

إِطْعَامُ الطَّعَامِ، وَإِفْشَاءُ السَّلَامِ

“Memberi makan dan menebarkan salam.”
(HR.Ahmad, no:14482, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no:3825).
Ibnu Umar رَضِيَ اللهُ عَنْهُ berkata:

الحَجُّ الْمَبْرُورُ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَحُسْنُ الصُّحْبَةِ

“Haji mabrur adalah: memberi makan dan baik dalam pergaulan.”
(Al Istidzkar, Ibnu Abdil Barr: 4/ 105)

Tsaur Bin Yazid رَحِمَهُ اللهُ berkata:

مَنْ أَمَّ هَذَا الْبَيْتَ وَلَمْ يَكُنْ فِيهِ ثَلَاثُ خِصَالٍ لَمْ يَسْلَمْ لَهُ حَجُّهُ مَنْ
لَمْ يَكُنْ لَهُ حِلْمٌ يَضْبِطُ بِهِ جَهْلَهُ وَوَرَعٌ عَمَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَحُسْنُ الصُّحْبَةِ لِمَنْ صَحِبَهُ

“Barangsiapa yang mendatangi Baitullah ini, dan tidak terdapat tiga sifat padanya, maka hajinya tidak sempurna :
– memiliki kesabaran yang bisa mengontrol kejahilannya.
– memiliki sikap wara’ dengan meninggalkan apa yang diharamkan Allah ﷻ kepadanya.
– Baik dalam bergaul dengan sahabatnya.”
(Al Istidzkar, Ibnu Abdil Barr: 4/ 105)

Kelima: menjauhi larangan ihram
Hendaknya berupaya untuk menjauhi segala yang terlarang selama menjalani ihram, seperti menyetubuhi istri, berbicara tentang hal-hal yang berbau seks dan hubungan dengan wanita, berbicara tentang hal-hal yang jorok, melakukan kemaksiatan, senang bertengkar dengan yang lain, dan sebagainya.
Allah ﷻ berfirman:

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang ditetapkan kewajiban berhaji dalam bulan itu, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”
(QS. Al-Baqarah: 197)

Yang dimaksud “rafats” di sini mencakup berhubungan badan (berjima’), atau bercumbu dengan isteri dengan berciuman dan segala yang mengarah kepada jima’, atau berbicara tentang hal tersebut di hadapan para wanita.
Yang dimaksud dengan kefasikan adalah segala jenis kemaksiatan, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas رَضِيَ اللهُ عَنْهُ dan yang lainnya.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir dalam menjelaskan ayat ini)

Demikian pula sabda Rasulullah ﷺ :

مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Barangsiapa yang berhaji, lalu dia tidak melakukan rafats, dan tidak berbuat kefasikan, maka dia kembali seperti hari di mana ibunya baru saja melahirkannya (dalam keadaan suci dari dosa,pent).”
(HR.Bukhari, no:1521, Muslim, no:1350, dari abu Hurairah رَضِيَ اللهُ عَنْهُ )

Keenam: menjadi hamba Allah ﷻ yang saleh setelah berhaji

Diantara tanda haji mabrur adalah memberi perubahan kondisi ketika ia telah menyelesaikan ibadah haji, nampak dia semakin mendekatkan diri kepada Allah ﷻ dengan berbagai macam bentuk amalan saleh. Semakin semangat dalam mengerjakan shalat wajib secara berjamaah di masjid, meninggalkan kebiasaan buruk yang biasa dilakukan sebelum haji, mengenakan hijab bagi seorang wanita dan tidak menampakkan auratnya di saat keluar dari rumahnya, atau di hadapan lelaki yang bukan mahram, dan yang semisalnya.
Berkata Hasan Al Bashri رَحِمَهُ اللهُ ketika menjelaskan tanda haji mabrur:

أَنْ يَدْفَعَ زَاهِدًا فِي الدُّنْيَا رَاغِبًا فِي الْآخِرَةِ

“Dia kembali dalam keadaan bersikap zuhud terhadap dunia, cinta kepada akhirat.”
(Al Istidzkar, Ibnu Abdil Barr: 4/ 105)

Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad حَفِظَهُ اللهُ berkata:
“Tanda haji mabrur adalah ketika seseorang melihat kondisinya sebelum haji dengan kondisinya setelah haji, terjadi perubahan dari keadaan buruk menjadi baik, dari keadaan baik menjadi lebih baik lagi.”
(Syarah Sunan Abi Dawud: 17/546)

Semoga Allah ﷻ memudahkan perjalanan dalam menunaikan ibadah yang mulia ini, dan kembali sebagai hamba Allah ﷻ yang meraih haji mabrur. Allahumma Amiin.

RELATED ARTICLES
- Publikasi Kajian -spot_img

Populer Artikel

Tamu